Sabtu, 19 Februari 2011

Transmigrasi dan Krisstenisasi di Pasaman ibarat duri dalam daging dirasakan sejak 1953

Gerakan Salibiyah memboncengi program transmigrasi
di Pasaman, khususnya Kinali - Pasaman Barat,


Semenjak tahun 1953 Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Tengah telah mengatur penempatan para transmigrasi.

Kedatangan warga transmigrasi dari luar Sumatera, umumnya dari Pulau Jawa dan Suriname, ditempatkan didaerah Kecamatan Pasaman dalam Kabupaten Pasaman.

Sejak awal telah diterima oleh penduduk Pasaman sebagai saudara dalam sesuku.
Berat akan sepikul ringan akan sejinjing.

Penempatan mereka diatas tanah-tanah ulayat penduduk Kecamatan Pasaman, berdasarkan penyerahan hak tanah oleh Ninik Mamak negeri yang bersangkutan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman. “Inggok mancangkam, tabang basitumpu. Dima bumi di pijak di sinan langik di junjung”. Artinya menerima, mengikuti dan mematuhi semua ketentuan adat secara kulturis yang berlaku di daerah Pasaman tersebut.

Persyaratan-persyaratan tertentu (tertulis), diantaranya dicantumkan,
1. Penyerahan tanah diperuntukkan sebagai penampungan bagi warga negara Indonesia, yang berasal dari daerah lain (transmigrasi).
2. Bahwa mereka yang datang (para-transmigrasi) itu tunduk kepada ketentuan adat-istiadat yang berlaku ditempat mereka ditempatkan, dengan pengertian bahwa mereka yang datang (para-transmigrasi) itu dianggap sebagai kemenakan (dalam hubungan hukum adat yang berlaku, yang tentu saja adat Minangkabau yang beragama Islam).

Diatas dasar perpegangan ini, Ninik Mamak dalam Nagari-nagari di Kecamatan Pasaman, secara berturut-turut telah menyerahkan tanah ulayat mereka dengan kerelaan membangun bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia melalui Pemerintah Daerah. “Sejak tahun 1953 tercatat penyerahan tanah ulayat masyarakat, antara lain pada bulan Mei 1953 sebagian Ulayat TONGAR AIR GADANG, Ulayat KAPAR (PD. LAWAS), dan tanggal 9 Mei 1953 Ulayat KOTO BARU (MAHAKARYA). Tahun 1961 - 26 September 1961 dari Ulayat KINALI BUNUT Alamanda, Kecamatan PASAMAN. Tahun 1964 - 25 April 1964, sebagian Ulayat KINALI LEPAU TEMPURUNG, Kecamatan PASAMAN. Tahun 1965, AIR RUNDING, Kenegarian PARIT Kecamatan SUNGAI BERAMAS. Tahun 1957, KOTA RAJA, Kenegarian PARIT Kecamatan SUNGAI BERAMAS. Terdahulu dari ini, yaitu di tahun 1953 telah terjadi pula penyerahan tanah DESA BARU sebagai daerah kolonisasi (transmigrasi) dalam kenegarian BATAHAN Kecamatan Sungai Beremas”.

Semua surat-surat penyerahan tanah-tanah disebutkan :

A.Untuk transmigrasi

B.Pendatang-pendatang (transmigrasi) tersebut menjadi kemenakan (dalam hubungan adat-istiadat), dengan menuruti adat-istiadat setempat (yang tentu saja beradat Minangkabau yang bersendi syara' - agama ISLAM).




Masuknya Transmigrasi ke Pasaman



Periode tahun 1953 - 1956

Berdasarkan penyerahan tanah dari Pucuk Adat beserta Ninik Mamak dalam Kenegarian Kapar dan Lubuk Koto Baru Kecamatan Pasaman dan Kenegarian Lingkung Aur (Mei 1953), maka mulailah berdatangan para transmigrasi, yang terdiri dari :
Padang Lawas/Kapar ............. dari Jawa
Koto Baru/Mahakarya ........... dari Jawa
Tongar/Air Gadang .............. dari Suriname

Dalam surat penyerahan tanah kepada Pemerintah Daerah Pasaman yang diterimakan oleh Ketua Dewan Pemerintahan Daerah Kab. Pasaman (SJAHBUDDIN LATIF DT. SIBUNGSU) tercantum persyaratan antara lain ...."Orang-orang yang didatangkan itu untuk masuk lingkungan adat-istiadat dan Pemerintahan Kenegarian dimana mereka berdiam, (Kapar atau Lingkung Aur), sehingga berat sepikul ringan sejinjing dengan rakyat asli Kenegarian yang bersangkutan" ..........

Pada umumnya semua pendatang transmigrasi itu semuanya sedari mula datang mengakui beragama Islam. Sehingga pada waktu itu didatangkan guru-guru agama Islam mereka mengikuti dengan baik. Pada masa ini hubungan antara orang-orang transmigrasi dengan penduduk asli berlangsung baik, rapat dan serasi. Dapat dibuktikan dalam bentuk hubungan baik, sampai akhir tahun 1956.


Periode tahun 1957 - 1960

Para transmigran yang pada mulanya mengaku beragam Islam di permulaan tahun 1957, kemudian ternyata didalamnya menyelusup pula orang-orang Kristen, seperti ditemui : Padang Lawas/Kapar, Koto Baru/Mahakarya (26 Kepala Keluarga), Tongar/Air Gadang (22 Kepala Keluarga).

Pada tahun 1957 keluarga transmigrasi yang beragama Kristen mulai memperlihatkan aktifitas diantaranya meminta Kepala Kantor Transmigrasi Seksi Kapar di Koto Baru untuk dapat memberi izin mendirikan rumah ibadah umat Katholik didaerah tersebut.

Namun pada tanggal 30 Nopember 1957, Kepala Negari Kapar (Dulah) bersama dengan Pucuk Adat (Daulat Yang Dipertuan) dan Ninik Mamak (Dt. Gampo Alam) yang dikuatkan oleh Alim Ulama (Buya Tuanku Sasak) serta Cerdik Pandai, mengirimkan pernyataan kepada Kepala Kantor Transmigrasi Seksi Kapar, bahwa "permintaan umatr Katholik tersebut didalam lingkungan ulayat (tanah adat) Koto Baru dan Kapar tidak diizinkan (tidak dibolehkan)".

Diantara alasan-alasan yang dikemukakan :
a. “Agama Katholik adalah tidak sesuai dengan Agama Islam, yang telah kami pakai dan amalkan”.

Kemudian ketegasan dari seluruh pemuka masyarakat Pasaman sesungguhnya telah dapat terbaca dalam pernyataan mereka yang menyebutkan sebagai berikut ;

“Kami segala pemangku adat, alim-ulama, cerdik-pandai tetap kami tidak setuju, apalagi negeri kami ini dusun, bukanlah kota, kalau dikota kami tidak berkeberatan sedangkan masyarakat Transmigrasi sudah menurut adat, dan berkorong berkampung .............".

Pernyataan masyarakat dan Pemangku Adat beserta Pemerintahan Negeri Koto Baru yang tegas dan keras ini, menyebabkan usaha Kristen tersebut tidak memperlihatkan gerak yang aktif sampai dengan tahun 1960.


Periode Tahun 1961 - 1962

Pada tanggal 26 September 1961, Kerapatan Adat Negari Kinali, yang ditanda tangani oleh 27 Ninik Mamak, 3 orang Alim Ulama, 3 orang Cerdik-pandai mewakili 100 anggota kerapatan, atas nama seluruh penduduk Kinali, mempermaklumkan rencana Pemerintah menempatkan Transmigrasi dalam daerah Kinali.

Disusul menyerahkan sebidang tanah untuk penampungan itu kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia tanpa ganti rugi, dengan batas-batas :
1. ...."dari muara Batang Pianagar ke Pangkalan Bunut
2. dari Pangkalan Bunut sampai kemuara Sungai Balai
3. dari Muara Sungai Balai sampai ke tanda Batu (sepanjang 1 Km),
4. dari tanda batu sampai kekampung Barau,
5. dari kampung Barau ke kampung Teleng,
6. dari Basung Teleng, sampai ke muara Batang Tingkok
7. dari muara Batang Tingkok ke muara Batang Timah,
8. dari muara Batang Timah kanan hilir Batang Masang sampai ke Aur Bungo Pasang,
9. dari Aur Bungo Pasang ke Muaro Batang Bunut,
10.dari Muaro Batang Bunut ke Muaro Batang Pianagar" ....

Penyerahan tanah tersebut dikuatkan dengan syarat, bahwa, "orang-orang transmigrasi itu adalah sama-sama warga negara yang pada azasnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk asli negeri Kinali terhadap Pemerintah dan adat istiadat setempat" .

Sehubungan dengan penyerahan tanah ini, Gubernur Propinsi Sumatera Barat (Kaharoeddin Dt. Rangkayo Basa) mengeluarkan surat pernyataan tgl. 30 September 1961 No. 62-Trm-GSB-1961 untuk menjamin penyelenggaraan transmigrasi sebaik-baiknya dalam daerah Sumatera Barat, dan dalam keputusan angka 4 menyatakan:
....."Orang-orang bekas transmigrasi diwajibkan mentaati segala peraturan umum dan daerah serta adat-istiadat setempat".

Pada tahun 1962, kedaerah Lepau Tempurung/Kinali didatangkan pula warga transmigrasi yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kesemuanya sejak awal datang menyatakan beragama Islam.
Maka, mereka dapat diterima sesuai dengan adat-istiadat penduduk setempat, sebagai saudara dalam sesuku.



PASAMAN (1953 - 1974) “ ibarat duri dalam daging .. “
Selama 21 tahun sebagai daerah TRANSMIGRASI Menjadi sasaran operasi SALIBIYAH,

Kabupaten Pasaman di tahun 1974 adalah Kabupaten yang terletak berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli/Sumatera Timur (ujung Utara dari Sumatera Barat).

Mata Pencaharian penduduk umumnya bertani dan ber-dagang sebagai pencaharian sambilan. Sedikit sekali menjadi buruh.

KEHIDUPAN KE-AGAMAAN penduduk Kabupaten Pasaman, adalah I S L A M.
Umumnya penduduk asli beragama ISLAM.
Pengikut KRISTEN terdapat didaerah PANTI RAO, dengan data tahun 1974 ,

(a). H.K.B.P (HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN) di Panti, sebanyak 200 orang,
(b). Katholik di Panti Rao, berjumlah 60 orang,
(c). Advent/Pantekosta di Panti/Rao, sebanyak 25 orang, dan Gereja Bethel Indonesia.
Jumlah itu, dari tahun ke tahun bertambah seiring dengan pertambahan penduduk, dan derasnya arus pendatang.


Di KECAMATAN PASAMAN, juga terdapat pengikut agama Katholik , yang berada didaerah-daerah (a). Mahakarya Koto Baru, 90 Kepala Keluarga, (b). Sumber Agung /Kinali , 15 kepala Keluarga, (c). Alamanda/Bunut Kinali, 17 kepala keluarga.

Selain itu ada juga pengikut Protestan di Kinali, terdapat 3 Kepala Keluarga dan Tongar, sebanyak 7 Kepala Keluarga.

Padahal sebelumnya di daerah Pasaman ini seluruh penduduknya beragama Islam.

Pembangunan GEREJA ditemui didaerah Kampung II Mahakarya Koto Baru, Gereja Katholik KELUARGA KUDUS, Daerah Alamanda/Bunut Kinali, Gereja Katholik, dan dikawasan Sumber Agung/Kinali, Gereja Protestan/Pantekosta

Di Panti juga terdapat Gereja H.K.B.P. Panti, Gereja Katholik Panti, Gereja Advent/ Pantekosta dan Bethel Indonesia. Selain itu didapati pula RUMAH-RUMAH GURU INJIL di Kinali dan Koto Baru sebanyak 9 buah.


Kegiatan dan USAHA MISSIONARIS SALIBIYAH di Pasaman Barat umumnya dapat dipantau dari

A. Mendirikan Sekolah-Sekolah Dasar (S.D) YAYASAN PRAYOGA PADANG, proyek Keuskupan Padang/Pastoran Katholik Pasaman di
1. Kampung I Mahakarya, Koto Baru, 1 buah = 350 murid
2. Sumber Agung Kinali, 1 buah = 150 murid.
3. Alamanda , 1 buah = 140 murid.
4. Pujorahayu , 1 buah = 110 murid
5. O p h i r, 1 buah = 100 murid.
6. P a n t i , 1 buah = 190 murid.
7. Panti H.K.B.P, 1 buah = 90 murid

B. Balai PENGOBATAN, yang terdapat di daerah-daerah Koto Baru (Maha Karya).

C. Lain-lain tempat dengan cara kunjungan ke-rumah-rumah dan di Panti (dalam perencanaan oleh Katholik.

D. MENDIRIKAN S.M.P di Koto Baru/Mahakarya dan Panti.

E. PENDUDUK ASAL PENGANUT AGAMA
1. Protestan (H.K.B.P) , di Panti, pendatang dari Tapanuli
2. Katholik , di Panti, pendatang dari Tapanuli, di Koto Baru dan Kinali, transmigrasi Jawa/Suriname
3. Protestan (G.P.I.B) di Kinali, Pendatang dari Tapanuli


F. PASTOR DAN PENDETA

1. Koto Baru dan Kinali (PASTORAN KATHOLIK PASAMAN) berpusat di Mahakarya/Koto Baru Simpang III Kecamatan Pasaman.
a. Pastor Corvini Filiberto - berdiam disini selama 10 tahun asal Italia, Kepala Pastoran Katholik Pasaman.
b. Pastor ZANANI, datang ke Pasaman tahun 1972, merangkap sebagai "dokter" pada Balai Pengobatan Keluarga Kudus Simpang III Koto Baru (ITALIA)
c. Pastor Monaci Ottorino , mewakili Pastor Corvini Filiberto, penghubung tetap dengan Uskup Bergamin S.X., asal ITALIA, dan bertugas mengkoordinir sekolah-sekolah Katholik di Pasaman antara lain S.D. Setia Budi (Ophir), S.D. Keluarga Kudus (Koto Baru/Mahakarya) dan S.D. Teresia (Panti).

2. Katholik di Panti, selalu didatangi dan diawasi oleh Keuskupan Padang.

3. Bethel Indonesia dan Pantekosta Panti, Pendeta di kun-jungi dari Brastagi (Tapanuli Utara).

4. Protestan (H.K.B.P) di Panti, Pendetanya dari Tapanuli (Padang Sidempuan/Pematang Siantar).


KRONOLOGIS GERAKAN SALIBIYAH PASAMAN

PANTI


1. Sebelum tahun 1950

Antara Panti dan Rao, sepanjang 20 Km dan Lebar 5 Km kiri kanan jalan raya Medan - Bukittinggi, ditahun-tahun sebelum 1950 adalah merupakan daerah hutan belukar besar.

Pada beberapa tempat, disela-sela oleh dusun-dusun/kampung-kampung kecil dan ditempati penduduk dengan adat istiadat Minang dan agama Islam.


2. Tahun 1952

Pada tahun ini mulai berdatangan penduduk asal Sipirok Tapanuli Selatan, dengan maksud mengolah tanah-tanah menjadi persawahan perladangan. Dengan pengakuan tali hubungan adat yang berlaku, yakni "hubungan mamak dan kemenakan" sesuai dengan adat yang berlaku dan agama yang dianut (Islam), pendatang-pendatang mendapatkan tanah-tanah yang mereka butuhkan dengan surat menyurat secara baik.


3. Tahun 1953.

Oleh Ninik Mamak (Basa 15) diserahkan tanah ulayat seluas 20x5 Km kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman, untuk kemudian dengan diatur oleh Pemerintah Daerah Kab. Pasaman sebagai tempat penampungan pemindahan penduduk dari daerah-daerah lain diluar Kab. Pasaman dengan surat-surat yang lengkap.
Salah satu persyaratannya ialah mereka yang datang itu langsung menjadi "kemenakan" dari Ninik Mamak Panti dan mengikuti adat-istiadat setempat.

Dengan demikian berbondong-bondonglah datang ke Panti penduduk asal Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara, adakalanya kedatangan mereka diluar pengaturan pemerintah daerah, sehingga pada tahun 1956 sudah menjadi ramai dan hutan-hutan sudah dibuka jadi perkampungan dan persawahan.


4. Tahun 1957

Tanggal 1 Februari 1957, Kanun Simatupang (salah seorang pendatang dari Tapanuli tahun 1957) yang bertempat tinggal waktu itu dinegari Suka Damai Kecamatan Rao, telah menyerahkan sebidang tanah perumahan kepada Gerson Simatupang yang waktu itu bertempat tingal dinegeri Cengkeh Panti.

Dalam penyerahan itu ditekankan sekali bahwa tanah itu tidak buat pergerejaan.

Pada bulan Agustus 1957 itu terbetiklah berita diiringi dengan kegiatan penganut-penganut Kristen yang berdatangan dari Tapanuli untuk mendirikan gereja di Panti.
Pada tanggal yang sama (5-8-1957), pernyataan Ninik Mamak Panti itu dikuatkan oleh Ninik Mamak dan Anggota DPRN Panti yang ditanda tangani oleh 19 orang Ninik Mamak dan Anggota DPRN yang ditunjukkan kepada Kepala kantor Urusan Agama Kab. Pasaman di Lubuk Sikaping dengan suratnya No. 001/1957 tgl. 5-8-1957 yang berisi keberatan berdirinya gereja dalam tanah ulayat Panti.

Terbukti kemudian dengan peristiwa-peristiwa yang mengiring kegiatan penyebaran agama Kristen telah menyelusup jauh ke Panti.

Peristiwa diatas menyebabkan kemarahan masyarakat dan Ninik Mamak Panti, yang menilai sebagai suatu pelanggaran dari perjanjian pertama bahwa tanah-tanah yang diolah di Panti tidak dibenarkan untuk mendirikan bangunan-bangunan Kristen apalagi Gereja.

Pada tanggal 8 September 1957 Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai dan Pemuda-pemuda dan Sukadamai mengadakan rapat bersama dan memberikan keputusan bahwa orang-orang yang mungkir janji dari perjanjian pertaama sewaktu mula datang kedaerah Panti, harus meninggalkan kampung Panti dalam tempat satu minggu; dan putusan Ninik Mamak ini dikuatkan oleh Wali Negari Panti (Dt. Bagindo Sati) dan juga ditanda tangani oleh orang-orang yang telah melanggar janji tersebut (Jabalingga dkk).

Selanjutnya bertubi-tubi pembelaan dating dari Pendeta-pendeta HKBP dari Sipirok (Tapanuli Selatan) dan Padang, tetapi Pemerintah tetap berpendirian pada melarang untuk/demi keamanan pada umumnya.

5. Tahun 1962

Pada tanggal 28 Agustus 1962, Bupati KDH Kab. Pasaman (Djohan Rivai) memanggil Catur Tunggal Kab. Pasaman, Kepala-kepala Kantor dalam Lingkungan Dep. Agama di Kab. Pasaman, Anggota-anggota DPRD-GR Kab. Pasaman dan Tokoh-tokoh Partai Politik dalam Daerah Tk. II Pasaman, untuk membicarakan "permohonan umatr Katholik untuk mendirikan gereja didaerah Kab. Pasaman".

Rapat yang diadakan di Kantor Kogem Lubuk Sikaping itu, menyimpulkan pendapat-pendapat beberapa putusan, antara lain :

a. Bahwa perjanjian-perjanjian dengan Transmigrasi dahulu hanya yang beragama Islam;
b. Untuk mencapai keamanan, sementara pendirian gereja dll sebagainya ditangguhkan.

Sebagai realisasi dari keputusan rapat tersebut, maka pada tangal 8 September 1962 Kepala Kantor Urusan Agama Daerah Tk. II Pasaman (Baharoeddin Saleh) mengirimkan surat kepada Catur Tunggal Kab. Pasaman, yang berisi menguatkan putusan tgl. 28-8-62 bahwa "belum dapat menyetujui permohonan umat Katholik hendak mendirikan Gereja dan lain-lain sebagainya didaerah Kabupaten Pasaman ini ....".

Walaupun demikian, pembelaan dari pihak Gereja H.K.B.P dan protes dari penduduk setempat, dan kadang-kadang memanas sampai terjadi perkelahian-perkelahian dan terpaksa dihadapi oleh aparat-aparat pemerintah dan alat-alat negara berdiri jugalah akhirnya Gereja H.K.B.P di Kampung Cengkeh Panti yang sudah menjadi persoalan sejak tahun 1956.

Sejak tahun 1952 disaat datangnya penduduk Tapanuli (Sipirok) ke daerah Panti pada mulanya hanya yang beragama Islam saja.

Tanpa disadari oleh penduduk setempat pihak-pihak kristiani berusaha mengirimkan tenaga ke Panti, dengan berbagai cara dan tekanan.

Hingga sekarang dirasakan keretakan hubungan antara pendusuk asli yang umumnya beragama Islam dengan penduduk pendatang (Tapanuli) yang jumlah sudah menjapai 70 % dari seluruh penduduk Panti.

Sungguhpun diantara pendatang-pendatang itu banyak juga yang beragama Islam dengan memegang teguh perjanjian dengan Ninik mamak Panti ditahun 1953 , namun kerukunan sedarah dan sedaerah adalah merupakan peluang yang baik dan menjadi landasan yang kuat bagi berkembangnya kerukunan di Panti khususnya.



6. Kedatangan Missi Asing Pendorong Gerakan Salibiyah

Periode tahun 1963 – 1966.
Seakan sudah diatur dari tempat asal warga transmigrasi, bahwa untuk Sumatera Barat, pertama-tama harus menyatakan beragama Islam, walaupun sebenarnya didalam rombongan transmigrasi terdapat pula yang beragama diluar Islam (seperti Katholik) sebagai selundupan.

Pada tahun 1963, mulai berkunjung kedaerah transmigrasi Pastor dari Padang. Maksudnya meninjau dan melihat keadaan perkembangan orang-orang transmigran di TONGAR dan KOTO BARU (Mahakarya). Kunjungan itu pada mulanya tidak menjadikan kecurigaan dan perhatian yang serius dari masyarakat setempat. Kedatangan Pastor dari Keuskupan Padang berlanjut setiap tahun sampai tahun 1966, dan mendatangi rumah-rumah keluarga-keluarga yang beragama Katholik, dan yang tersembunyi.

7. Tahun 1973
Tahun ini berdiri suatu kampung ditepi Sungai Sampur Panti, dengan nama KAMPUNG MASEHI. Diatas tanah yang diserahkan oleh Ninik Mamak; Panti dahulunya kepada keluarga pendatang dari Tapanuli juga yang pada mulanya seluruhnya beragama Islam. Namun kemudian diketahui (1973) bahwa diantara penduduk itu terdapat 50 buah rumah jemaah kristen dan merekalah yang memberi nama kampung tersebut Kampung Masehi.


MASUKNYA KATHOLIK KE PANTI

Di samping jemaat Protestan/H.K.B.P (Huria Kristen Batak Protestan), terdapat pula beberapa diantaranya jemaat Gereja Katholik dibawah asuhan/pengawasan Keuskupan Padang, hal ini terbukti setelah berulang kali Pastor-pastor Katholik dari Keuskupan Padan secara teratur mengunjungi Jemaat Katholik di Panti.
Tahun 1970

Pada tanggal 10 Mei 1970, M.NICOLAS SINAGA (Katekis Katholik Panti) bertempat tinggal di Banjar II Kamp. Cengkeh Panti, mengajukan permohonan kepada Bupati/KDH Kab. Pasaman untuk mendirikan Gereja Katholik di Panti, yang menurut alasannya bahwa umatr Katholik di Panti sudah beranggotakan 14 buah Rumah Tangga, dan atas anjuran Uskup Padang supaya ditempat itu didirikan Gereja Katholik.

Pendirian Gereja ini tidak dibenarkan oleh Pemerintah Daerah Kab. Pasaman. Tetapi nyatanya Gereja itu berdiri juga. Persoalan ini bertahun-tahun kemudian ber-kembang terus menjadi “kasus Pasaman” yang sampai sekarang terlah berlalu tiga dasawarsa masih belum terselesaikan.

Sejak tahun 1967, jauh sebelum riak gerakan salibiyah di Pasaman ini makin keras menghempas kehidupan kerukunan ditengah kehidupan umat Islam di Minangkabau, dengan filosofi adat basandi syara’, dan syara’ basandi kitabullah.


Atas prakarsa Menteri Agama R.I, diadakan musyawarah antara pemuka agama di Jakarta. Pokoknya diusahakan supaya terpelihara kerukunan antar umat beragama. Baru ditahun 1969, pemerintah merasa perlu lebih bersungguh sungguh mengatur lalu lintas pergaulan antar umat beragama dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/MDN/MAG/1969 tentang pelaksanaan tugas aparatur pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk pemeluknya.

Pada tahun 1978 disusul dengan Surat Keputusan Menteri Agama No. 70/1978 tentang pedoman penyiaran agama.

Surat Keputusan Menteri Agama No. 77/1978 tentang bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia.

Semua pemuka Islam yang hadir dalam musyawarah, sejak pertama kalinya tanggal 30 November 1967 di Jakarta itu, menyetujui saran pemerintah.
Sedang pemuka pemuka agama Kristen, baik yang Katholik maupun yang Protestan, menolak saran pemerintah itu.
Dengan demikian, musyawarah gagal mencapai maksudnya.

Pasaman hari ini mulai akhir tahun 1999, dalam menapak kealaf baru di awal abad keduapuluh satu telah berkembang menjadi zamrud hijau ditengah Sumatera Barat. Berpuluh ribu hektar lahan, yang tadinya kosong dan rimba belanatara, telah dibuka menjadi perkebunan sawit.

Masyarakat pendatang dari luar yang tidak bisa dikontrol lagi. Baik yang bertalian dengan adat, keyakinan agama maupun moral kehidupan mereka. Gereja mulai tumbuh, penaka jamur dimusim hujan. Pendatang hidup sebagai buruh, pekerja dan penanam modal. Dalam menghadapi kenyataan ini, sudah pasti akan selalu timbul problematika-problematika dakwah baru, yang sangat global.

Akankah, berhenti tangan mendayung ???.


Catatan kaki ;

1. Persaingan pasar tersebut ditentukan oleh speksifikasi produk yang menjadi unsur "kepercayaan" (trust), seperti yang diungkapkan oleh penulis sejarah Francis Fukuyama, pria Jepang yang lahir dan dibesarkan di Amerika Serikat dan menduduki Dekan di George Mason Universi¬ty, Washington baru baru ini di Jakarta. Berbeda dengan Francis Fukuyama yang mengemukakan tesis kesejar¬ahan telah berakhir saat ini (The End of History), maka agama Islam, menurut pemahaman Bapak Mohamad Natsir diantaranya mengemukakan bahwa, adanya tesis kesejarahan pada setiap saat dan tempat (wa tilka al-ayyamu nudawilu-haa baina an-naas).

2. Surat Bapak DR. Mohamad Natsir yang ditujukan kepada Buya Datuk Palimo Kayo dan Buya Fachruddin HS. Datuk Majo Indo, bertarikh Djakarta, 20 Juli 1968, adalah merupakan pengamatan Pak Natsir serta pengalaman-pengalaman berdasarkan data-data tentang Gerakan Salibiyah yang sangat terencana.

3. Dokumen tgl. 9 Mei 1953.

4. Pada tanggal 14 Nopember 1957 dengan surat edaran No. Bb./55/10 meminta kepada Kepala Negari Kapar dan Ninik Mamak Kapar untuk memberikan keizinan.

5. Bahkan oleh masyarakat dan pemukanya di Pasaman Barat itu disebutkan tekad yang jelas seperti ;
a. Selanjutnya jikalau saudara-saudara dari warga transmigrasi didatangkan ke-ulayat tanah (adat) Koto Baru/Kapar Kecamatan Pasaman umumnya terlebih dahulu kami mengadakan rapat dengan Bapak Bupati Syahbuddin Latif Dt. Sibungsu beserta DPD Kab. Pasaman Abd. Munir Dt. Bandaro Bara, Haji Latif, Rusli, Wedana A.I. Dt. Bandaro Panjang dan Camat Dt. Jalelo, dihadapan Ninik Mamak Koto Baru/Kapar Air Gadang dan Buya Tuanku Sasak cucu kemenakan kami Ninik Mamak dalam Kecamatan Pasaman. Umumnya dengan kata lain, akan tunduk dibawah adat dan agama, yang telah kami pakai dari nenek moyang kami.

b. Diwaktu peresmian (penyerahan) saudara-saudara warga transmigrasi sudah ada Bapak Gubernur Ruslan Mulyoharjo telaha memberi nasehat kepada seluruh warga transmigrasi, supaya mereka menyesuaikan dengan masyarakat disini. Pepatahnya "dimana tanah diinjak disitulah langit dijunjung", adat diisi lembago dituang, arti kata mereka disini menurut adat dan agama yang telah ada.

c. Dengan perjanjian inilah baru kami terima saudara-saudara itu, menjadi cucu anak kemenakan kami dan duduk didalam ulayat adat kami.

d. Andai kata kalau tidak sesuaidengan perjanjian itu istimewa akan mendirikan, agama selain agama Islam tidak diizinkan, mungkin mendatangkan kejadian yan tidak diingini, apalagi ia untuk mendirikan satu rumah teruntuk kepada rumah Katholik (buat beribadah umatr Katholik).

6. kutipan dokumen Pemda Pasaman tgl. 30-11-1957).

7. Kutipan dokumen kerapatan Adat Negari Kinali No. 01/KANK/1961 tgl. 26 September 1961, di atas meterai Rp. 3,- 1953).

8. Ibid.

9. kutipan dokumen pernyataan Gubernur KDH Prop. Sumbar tgl. 30 Sept. 1961 No. 62/Trm/GSB/1961 dari salinan M.J. Jang Dipertuan).

10. Data tahun 1974, Luasnya : 764.000 H.A, Penduduk : 285.000 Jiwa, terdiri dari 8 Kecamatan (termasuk Perwakilan Camat di Panti), dengan jumlah Nagari 51 buah
Penduduk dari Kabupaten Pasaman ini terdiri dari : a. Asli Minang : 77 % = 220.000 Jiwa, b. Tapanuli : 25 % = 45.000 Jiwa, c. Jawa : 8 % = 20.000 Jiwa.

Tahun 1974 penduduk transmigrasi Asal Jawa tersebut tersebar di Kecamatan Pasaman - Kinali.

Anutan Agama di Pasaman adalah sbb ;
(a).Asli Minang, 100 % beragam Islam,
(b).berasal dari Tapanuli, pada mulanya datang dengan pengakuan beragama Islam, terakhir di Panti ditemui banyak beragama Kristen/Katholik/HKBP,
(c).Asal Jawa, pada mulanya datang dalam rombongan transmigrasi terdaftar beragama Islam, akan tetapi ke nyataannya di Koto Baru dan Kinali terdapat pula penganut Katholik sebagai pendatang-pendatang yang diselundupkan dalam rombongan transmigrasi dan merupakan basis bagi Kristenisasi di Pasaman.

11. Sekarang ditahun 2000, penduduk Pasaman sudah banyak menjadi buruh perkebunan seiring dengan berkembangnya daerah Pasaman Barat menjadi perkebunan sawit yang luas.

Menurut catatan/Laporan Wali Negari Kotobaru Kecamatan Pasaman, Agustus 1973, jumlah penganut agama Katholik di daerah ini terdiri dari
(1). Mahakarya ............ 342 orang,
(2). Pujorahayu ........... 17 orang,
(3). Ophir ................ 38 orang,
(4). Jambak ............... 16 orang

Pada tanggal 12-2-1974 jemaah Gereja Protestan Indonesia Bahagian Barat (G.P.I.B) telah mendirikan sebuah Gereja ukuran 5 x 9 Meter2 dengan nama GEREJA CINTA KASIH DALAM TUHAN.

Di Koto Baru ini terdapat pula Dewan Komisi Gereja Katholik Kab. Pasaman/Gereja Keluarga Kudus Pasaman dan di tempat ini pula Pastoran Katholik Pasaman dibawah pimpinnan Pastor Corvini Filiberto.

Menurut laporan SDKK jumlah murid-murid SD ini bulan Januari 1974 sebanyak 55 murid dengan 17 orang Guru dibawah pimpinan Herman Sugiyono C.
Kemudian SD keluarga Kudus Sumber Agung, dibawah pengawasan Pastor Monaci Ottorino.

12. Di desa Alamanda pada objek Transmigrasi Kinali Kabupaten Pasaman sejak tanggal 13 Mei 1965 s/d 11 April 1972 (selama 7 tahun) telah berdiri filial S.D. Kinali ( yang pada mulanya berstatus S.D. Katholik Bunut/Alamanda) dibawah pimpinan Slamet Haryadi, dengan jumlah Klas I s/d Kelas IV dan jumlah murid 140 orang.

13. Pada tanggal 11 April 1972 sekolah tersebut diresmikan menjadi S.D. Induk Negeri Alamanda dengan Keputusan Gubernur KDH Sumbar c/q tgl. 22 Maret 1972, dengan guru-guru sbb : 1. Sabiruddin (gol II/b) selaku Kepala Sekolah, 2. Slamet Haryadi (gol I/d), 3. Ismanto (gol. I/d), 4. Sutrisno (gol. I/d), 5. Sujatni (gol. I/d) dan Sumadi (ex SPG) sebagai tenaga sukarela). Peresmian sekolah ini dilakukan oleh pemegang Pim. Kabin P.D.P.L.B. Wilayah Kecamatan Pasaman.

14. Di Ophir oleh Yayasan Prayoga Padang telah didirikan S.D Katholik pada tanggal 3-2-70 dengan nama S.D Sugio Pranoto, dan pada tanggal 27-9-71 diganti nama dengan S.D SETIA BUDI
Yayasan Prayoga, adalah suatu Yayasan yang langsung berada dibawah pengawasan Uskup Mgr. Raimondo Bergamin s.x.

15. Di Panti, juga oleh Yayasan Prayoga Padang mulai tahun ajaran 1973, dengan pemberitahuan Pengurus Yayasan Prayoga Padang tgl. 21 Maret1973 No. 08/Pem/31/'73 yang ditanda tangani oleh A. Margono S.H. (Sekretaris Yayasan Prayoga Padang).

16. Atas desakan Ninik Mamak dan Pemuka Masyarakat Panti, akhirnya sekolah tersebut ditutup.

17. Balai Pengobatan ini diadakan di Pastoran Gereja Katholik Keluarga Kudus Simpang III Koto Baru Kecamatan Pasaman dibawah pimpinan Pastor (sekaligus merangkap dokter) ZANANI.

18. Maka tanggal 5 Agustus 1957 itu 29 orang Ninik Mamak mewakili seluruh rakyat sekitar Panti mengirim pernyataan keberatan dengan berdirinya gereja dinegeri Panti, kepada Bupati KDH Kab. Pasaman. Dalam surat pernyataan itu diingatkan kembali peristiwa yang terjadi tahun 1956, yakni keluarnya seluruh rakyat Rao Mapat Tunggul menuju Panti sebagai protes keras dari berdirinya gereja tersebut, dan supaya kejadian ini tidak berulang kembali.

19. Namun walaupun demikian, Gerson Simatupang yang pada bulan Februari 1957 telah menerima tanah dari Kanun Simatupang dengan persyaratan tidak untuk pendirian gereja, sebenarnya sejak semula telah berniat bahwa diatas tanah itu nantinya akan dibangun secara berangsur-angsur gereja HKBP untuk Panti.

Pada tanggal 17 Agustus 1957 telah datang ke Panti pimpinan Gereja Protestan terdiri dari E. Manalu dari Kantor Urusan Agama (Bhg. Kristen/Protestan) sum. Tengah di Bukittinggi, Dominos A. Ritonga (Kepala Gereja HKBP Wilayah Tapanuli Selatan) dan Wilmar Pohan Situa (Imam Gereja di Padang Sidempuan), dalam pengurusan berdirinya Gereja di Panti. Rencana sesungguhnya ialah untuk memulai upacara sembahyang di Gereja Panti pada hari Ahad tanggal 18 Agustus 1957, yang menyebabkan timbulnya kemarahan penduduk Panti, dan akhirnya pada tanggal 19-8-1957 rombongan tersebut berangkat meninggalkan Panti menuju Padang Sidempuan mengingat faktor-faktor keamanan. Pada tanggal 24 Agustus 1957, Gerson Simatupang, B. Hutapea, T. Hutabarat dan M. Pasaribu atas nama seluruh warga Panti yang beragama Nasrani dan Panitia Pembangunan Berdirinya H.K.B.P. Panti Rao telah mengirim surat permohonan kepada Bupati/Kepala Pemerintahan Kab. Pasaman di Lubuk Sikaping, yang isinya meminta izin mendirikan Gereja H.K.B.P. di Panti.

20. Lebih tegas lagi, pada tanggal 16 Oktober 1957 Bupati KDH Kab. Pasaman (Bupati Marah Amir) mengeluarkan surat No. 6448.b/VIII/3 sebagai balasan dari permohonan Panitia Pembangunan Gereja HKBP Panti yang berisi "Tanah tempat mendirikan Gereja itu masih dibebani dengan hak-hak tanah yang tunduk kepada Hukum Adat (persoonlijke-rechten), dalam hal mana kerapatan adat Negari Panti pada tgl. 11-9-1957 telah memberikan pernyataan dengan putusan, bahwa mereka sangat keberatan serta tidak mengizinkan mendirikan Gereja di Panti;" sebagai pertimbangan-pertimbangan lain", untuk menjaga keamanan", bersama ini kami sampaikan kepada saudara, bahwa smentara waktu ini kami sampaikan kepada saudara, bahwa sementara waktu kami tidak dapat mengabulkan permohonan saudara itu untuk mendirikan Gereja di Panti".

21. Pendapat inipun disampaikan pula kepada kepala kantor Urusan Agama Daerah Tingkat I Sumbar di Padang (No.47/R/A.I/1-62 tgl.10-9-1962), dan sebagai bahan pertimbangan diingatkan kembali peristiwa terganggunya keamanan di Panti yang pernah terjadi tahun 1956 dan 1957.

Maka pada tgl. 1 Oktober 1962, dengan surat No. 289/R/R.I/1/62, kepala Kantor Urusan Agama Daerah Tingkat I Sumbar di Padang (d.t.o, H. DJAMALOEDDIN), memberikan penggarisan sbb :
...." Maka dari itu demi untuk menjaga persatuan Nasional dan keamanan serta ketertiban umum dan tidak mengurangi perhormatan kepada Dasar Negara Pancasila dan kebebasan beragama, maka kami berpendapat seperti berikut :
a. Kami dapat menyetujui putusan rapat Pasaman tgl. 28-8-1962
b. Akan mendatangkan kerugian besar bagi kaum beragama dan bagi daerah itu sendiri kalau Gereja didirikan dalam daerah itu ....".

22. Pendirian Gereja H.K.B.P. di Panti ini, diatas tanah yang berasal dari milik AHAD Glr. TENGAH JALO (tinggal di Kampung Sungai Jantan Panti) yang dijualnya kepada KANUN SIMATUPANG (asal Tapanuli, tinggal di Kampung Air Tabit Panti) berupa sebidang kebun kulit manis seluas 41 M5, dengan surat jual beli tanggal 24 Desember 1953, tanah mana yang terletak di hilir pasar Panti yang juga dikenal Kampung Cengkeh Panti. Kemudian pada tanggal 1 Februari 1957 menyerahkan tanah tersebut kepada Gerson Simatupang sebagai tanah untuk perumahan dan tidak boleh untuk tempat gereja, akan tetapi pada tanggal 28 Agustus 1957 Gerson Simatupang cs (yang nyatanya adalah missi kristen dari HKBP) mengajukan permohonan kepada Bupati KDH Kab. Pasaman untuk mendirikan diatas tanah tersebut sebuah Gereja, yang ditentang oleh seluruh masyarakat dan pemerintah daerah, namun sampai sekarang (1974) tetap berdiri. Pada tahun 1962 itu, jumlah jemaat H.K.B.P. nyata sekali bertambahnya yang berdatangan dari Tapanuli, sebagai daerah yang berbatasan dengan Panti. Tidak jarang terjadi, bahwa pesatnya gerakan ditopang oleh alat-alat negara yang beragama Kristen/H.K.B.P. Sehingga tanpa mengindahkan larangan-larangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kab. Pasaman (baik Bupati, Camat maupun Wali negari Setempat) dan bahkan dengan kawalan kekerasan. Ditahun 1962 itu masyarakat masih dicengkam rasa takut yang berlebihan.

Pada tahun 1973 mereka mengajukan pula permohonan kepada Pemerintah Daerah Kab. Pasaman untuk mendirikan gereja di Kampung Masehi (Gereja HKBP ke II). Seperti juga pada masa-masa yang telah berlalu Pemerintah daerah Kab. Pasaman tidak pernah memberikan keizinan. Protes dari segenap lapisan masyarakat dan penduduk Panti, tetap bergulir karena tidak memenuhi segala syarat-syarat. Dirasakan oleh penduduk bahwa pembangunan gereja didaerah ini akan berakibat jauh. Terutama terganggunya keamanan dan kerukunan sesama penduduk yang telah terjalin selama ini. Walaupun demikian, tanpa keizinan dari pemerintah daerah, pihak kristen (HKBP) tidak ambil peduli dan tetap mendirikan gerejanya. Kondisi ini selamanya akan merupakan duri dalam daging bagi masyarakat di Pasaman.

23. Gereja Katholik itu akan dibangun diatas tanah seluas 20 x 30 M dengan besar bangunan 6 x 12 M5 terletak di Kampung Cengkeh Panti, yang berasal dari tanah yang dikuasai oleh JANANGGAR HARAHAP yang bertempat tinggal di Kampung Cengkeh Panti, dan telah diserahkan hak penguasaannya kepada M. NICOLAS SINAGA pada tanggal 16 Januari 1970.

Sejak bulan Januari 1968, M. NICOLAS SINAGA telah pernah mengajukan permohonan yang sama kepada Camat Perwakilan Panti, yang pada waktu tidak dapat diladeni oleh Camat berhubung karena penduduk Panti tidak dapat menerima. Pada tanggal 28 Februari 1968 Perwakilan Dep. Agama Prop. Sumatera Barat (Bahagian Katholik) menguatkan disamping Gereja juga akan dibangun Poliklinik, Sekolah dan Tempat Peribadatan Katholik, dimana surat tersebut ditanda tanggal M.B. Simanjuntak (Perwk. Dep. Agama Prop. Sumbar).

24. Dewan Dakwah meminta prakarsa dari Menteri Agama Republik Indonesia supaya sama-sama menjaga keutuhan masyarakat yang di ancam oleh kerasnya gerakan salibiyah ini.

25. Dr.Anwar Haryono SH, “Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman-Islam”, Cetakan Pertama, Jakarta Rabi’ul Akhir 1416 H/Agustus 1995, Hal 198 199).

26. Berkenaan dengan masaalah Pasaman ini, Dewan Dakwah Sumatera Barat mengeluarkan sebuah dokumen dihantar oleh Mazni Salam Sekretaris DDII Perwakilan Sumbar berupa Dokumentasi Gerakan Kristenisasi di Pasaman Barat, dengan judul “Kristenisasi dan Transmigrasi di Sumatera Barat”, dengan surat pengantar No.428/II-C/PDDI/7/1974 tertanggal Bukittinggi 4 Juli 1974. Bapak DR. Mohamad Natsir memberikan kata pengantar dokumen tersebut, sekalian merupakan taushiyah dakwah bagaimana langkah dalam menghadapi gerakan salibiyah ini. Antara lain beliau berkata, “Maka dokumentasi yang dikumpulkan oleh PERWAKILAN DA’WAH ISLAMIYAH INDONESIA SUMATERA BARAT ini, hanyalah menggambarkan sebagian kecil daripada kegiatan missi dan zending tersebut, khusus melalui saluran transmigrasi. Memperhatikan cara apa yang mereka gunakan dan jalan-jalan apa yang mereka tempuh dalam melakukan pemurtadan itu dikalangan ummat Islam yang dalam keadaan ekonomi lemah, dan apa akibat-akibatnya terhadap pergaulan hidup dalam daerah yang bersangkutan, yakni di Kabupaten Pasaman Sumatera Barat, yang sudah bertahun-tahun menjadi sasaran missi Khatolik, ke-Uskupan Padang. Disamping itu ada lagi kegiatan serupa di Kalimantan Selatan/Tengah, Sulawesi Tenggara (Kendari) dll yang tidak disebut-sebut disini”.(Kristenisasi dan Transmigrasi di Sumatera Barat, DDII Sumbar, Kata Pengantar, Jakarta, 1974).