Minggu, 01 Februari 2009

Nagari Kotogadang yang fantastis, sebagaimana ditulis oleh Suryadi dari Leiden

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 01 Februari 2009





NAGARI KOTO GADANG YANG FANTASTIS



Oleh Suryadi

Minggu yang lalu perhatian masyarakat Minangkabau, bahkan mungkin nasional, kembali tertuju ke Koto Gadang. Pada 24 & 25 Januari 2009 di nagari yang terletak di tepi Ngarai Sianok dan di barat kota Bukittinggi ini telah dilangsungkan puncak perhelatan Rang Minang Baralek Gadang, yang dihadiri oleh Wakil Presiden H.M. Jusuf Kalla.


Pesta itu sendiri sudah usai bersamaan dengan berakhirnya rangkaian iven yang digelar di beberapa tempat dalam rangka alek gadang itu. Koto Gadang mungkin akan kembali lengang, sebagaimana banyak nagari lainnya di Minangkabau yang ditinggal pergi oleh warganya yang merantau ke berbagai belahan dunia.


Tapi apakah yang dapat kita pelajari dari perjalanan sejarah Koto Gadang, sebuah nagari Minangkabau yang, sejak ditulis oleh K.A. James dalam artikelnya “De Nagari Kota Gedang” dalam Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 49 (1916) hingga kini, seringkali menarik perhatian para peneliti sejarah sosial masyarakat Minangkabau?


Untuk tingkat sebuah kampung, Koto Gadang memang fenomenal. Nagari yang hanya terdiri dari tiga jorong itu (Koto Gadang, Gantiang, dan Subarang Koto Gadang) sudah lebih awal mengecap kemajuan, jauh mendahului ratusan ribu desa-desa lainnya di seantero Republik ini. Dan untuk ukuran sebuah nagari, kemajuan itu boleh dikatakan hampir sempurna dan…..sungguh menakjubkan!


Koto Gadang—nagarinya “the saint Tuanku Malim Kecil”, meminjam istilah Jeffrey Hadler (2008:118)—adalah contoh mikro sebuah masyarakat timur yang lebih awal memperoleh pencerahan (enlightenment) Barat. Akan tetapi, sungguh ajaib, mengapa pencerahan itu mampir di Koto Gadang pada abad ke-19, sebuah desa kecil dalam ‘belantara’ keterbelakangan dunia timur pada zaman itu?


Sampai akhir abad ke-18 Koto Gadang, seperti banyak nagari lainnya di Minangkabau, adalah sebuah kampung yang tak pula bebas dari keterbelakangan yang dibikin sengsara oleh pergolakan agama. Seperti dicatat dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol, Koto Gadang ikut menjadi sasaran jihad Kaum Paderi. Mereka pun melakukan purifikasi agama di nagari ini di bawah pimpinan Tuanku nan Kecil.


Tetapi Koto Gadang berubah drastis begitu Belanda keluar sebagai pemenang Perang Paderi. Beberapa tahun sebelum perang itu berakhir, tepatnya di tahun 1833, Belanda mengumumkan Plakat Panjang di Minangkabau. Kota Gedang—begitu sering ditulis dalam dokumen-dokumen klasik di zaman kolonial—yang menjadi pusat administrasi Kelarasan IV Koto dijadikan sebagai salah satu desa percontohan oleh Belanda dalam penanaman komoditas ekspor kopi.


Rupanya masyarakat Koto Gadang merebut kesempatan reformasi pertanian yang diluncurkan Belanda itu dengan sebaik-baiknya.


Dengan memakaikan mamangan adat “bialah panguih baluluak asa tanduak lai makan”, para pemimpin Koto Gadang beserta masyaraktnya bekerjasama dengan Belanda. Mereka berusaha menyerap ilmu apapun yang ada di kepala bangsa penjajah itu.


Sambil menanam produk unggulan kopi, masyarakat Koto Gadang mempelajari sistem pertanian ‘modern’ yang diajarkan Belanda. Hasilnya: mereka meraup keuntungan ekonomi darinya.


Dalam dekade 1840-1850-an nagari Koto Gadang memonopoli distribusi kopi, dan banyak dari penduduknya yang berjumlah 2.500 jiwa menjadi kaya dan sejahtera karenanya, seperti disaksikan oleh Ida Pfeiffer, seorang petualang wanita asal Jerman yang mengunjungi nagari itu pada tahun 1852 (Von de Wall [transl.] 1878).


Salah seorang yang terkaya di Koto Gadang pada waktu itu adalah Radjo Mangkuto yang menguasai kartel transportasi kopi. Ia kemudian pergi naik haji dan melanjutkan perjalanannya ke Belanda. Ia mempersembahkan contoh sulaman benang emas terhalus buatan wanita Koto Gadang kepada Raja Belanda Willem III (Hadler 2008:121).


Keluarga Radjo Mangkuto merepresentasikan cara masyarakat Koto Gadang meraih kemajuan dengan menimba ilmu dari sang penjajah (Belanda). Mereka adalah contoh awal dari apa yang disebut oleh Elizabeth E Graves (1981) sebagai kelompok elite Minangkabau modern.


Saudara Radjo Mangkuto yang bernama Abdul Rahman menjadi hoofdjaksa di Bukittinggi. Saudaranya yang lain, Abdul Latief, menjadi bumiputera pertama yang menjadi kepala sekolah di Normaalschool Bukittinggi ketika sekolah itu dibuka tahun 1856. Jejaknya di kemudian hari dilanjutkan oleh putra Koto Gadang yang lain, Moehammad Taib.


Sukses keluarga Radjo Mangkuto disuritauladani oleh banyak keluarga lain di Koto Gadang. Hasilnya: di tahun-tahun berikutnya sampai paruh pertama abad ke-20 masyarakat Koto Gadang memetik buah englihtenment Barat (lihat rekaman historisnya dalam: Syaifoeddin St. Malintang, Koto Gadang dari Zaman ke Zaman, 1985; Azizah Etek, Mursjid A.M., Arfan B.R., Koto Gadang Masa Kolonial, 2007).


Ada dua kunci penting dari pencerahan itu yang benar-benar dipraktekkan oleh anak nagari Koto Gadang dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua kunci itu adalah pendidikan sekuler dan tradisi berorganisasi.


Masyarakat Koto Gadang tidak pelit membelanjakan uang untuk kemajuan pendidikan anak-kemenakan mereka. Dan para cerdik pandainya tidak hitung-hitungan tenaga dalam membina organisasi demi kemajuan anak negeri. Alhasil, banyak putra Koto Gadang berhasil mencapai pendidikan tinggi di Jawa dan juga di Belanda. Ini tiada lain karena buah dari pencerahan yang lebih awal yang telah diterima oleh orang tua dan ninik-mamak mereka.


Ketika para orang tua dan ninik-mamak di nagari-nagari lain masih takut memasukkan anak-anak mereka ke sekolah sekuler bikinan Belanda dan menganggap kepandaian menulis aksara Latin akan diganjal dengan hukum potong tangan oleh Tuhan di akhirat nanti, para orang tua dan ninik-mamak di Koto Gadang sudah berlomba-lomba menyekolahkan anak-kemenakan mereka ke sekolah-sekolah Belanda.


Pada awal abad ke-20 masyarakat Koto Gadang boleh dikatakan sudah hidup ‘modern’ dan bersih. Mungkin nagari inilah yang pertama kali membuat fasilitas PAM (Perusahaan Air Minum) atau waterleiding untuk keperluan masyarakatnya sendiri (didirikan tahun 1924).


Ninik-mamak Koto Gadang yang 24 membina nagarinya dengan pandua pencerahan Barat. Masyarakat Koto Gadang membuat organisasi-organisasi profesi, tak ketinggalan juga kaum wanitanya dengan Meisjes Vereeniging Koto Gadang mereka.


Suryadi (Penulis) dan Jepe

Pendidikan, penyediaan lapangan kerja di bidang pertanian dan industri rumah tangga (khususnya tenunan dan industri kerajinan perak), dan kesehatan masyarakat menjadi prioritas para perantau dengan ninik-mamak yang 24.


Ratusan putra-putri Koto Gadang yang terdidik dan pintar berbahasa Belanda—doktor, dokter, insinyur, ahli hukum dll.—menyebar dari Sabang sampai Merauke. Mereka menduduki berbagai jabatan penting dalam administrasi kolonial Belanda. Di senjakala kolonialsme beberapa di antaranya muncul sebagai pemimpin nasional yang kemudian berlanjut ke zaman kemerdekaan. Keluarga Haji Agus Salim adalah salah satu di antaranya. Tak sedikit pula yang beroleh kesuksesan dalam bidang wiraswasta.


Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Nagari Koto Gadang pada waktu itu menjadi contoh nagari yang ideal: masyarakatnya sehat dan berpendidikan (educated), dengan anak-anak yang cerdas berkat kemajuan pikiran para orang tua dan ninik-mamak mereka, yang menerapkan cara-cara masyarakat Belanda membina kampung halamannya.


Guna memajukan pendidikan anak-kemenakan mereka, pada tahun 1910 masyarakat Koto Gadang mendidikan Vereeniging Studiefonds Kota Gedang. Lewat organisasi ini masyarakat Koto Gadang, baik yang tinggal di kampung maupun yang berada di rantau, berlomba-lomba mengumpulkan dana untuk membiayai studi anak-kemenakan mereka di Jawa dan juga di Belanda.


Guna mempererat tali silaturahmi antara masyarakat Koto Gadang yang tinggal di kampung dan para perantaunya, pada tahun 1915 Vereeniging Studiefonds Kota Gedang menerbitkan bulanan Soeara Kota Gedang (yang di tahun 1929 diganti oleh Berita Koto Gadang).


Koto Gadang di masa lampau adalah contoh ideal bagaimana kekuatan perantau masyarakat Minangkabau dan mereka yang tinggal di kampung bekerjasama bahu-membahu dalam memajukan kampung halaman mereka.




Suryadi, dosen & peneliti pada Opleding Talen en Culturen van Indonesiƫ Universiteit Leiden, Belanda

Tidak ada komentar: