Rabu, 25 Januari 2012

Tegasnya, harta pusaka tinggi adalah milik kaum, suku ataupun nagari yang dimiliki secara kolektif dan berfungsi sebagai harta wakaf.

TANAH ULAYAT

Tanah ulayat di Minangkabau adalah sebidang tanah, termasuk segala sesuatu yang terdapat atau ada diatas tanah tersebut, termasuk udara dan ruang angkasa maupun segala hasil perut bumi didalamnya. Hak atas tanah ulayat itu adalah merupakan hak tertinggi di Minangkabau yang dipegang oleh Penghulu, Kaum, Nagari atau kumpulan beberapa Nagari. Dalam tambo adat alam Minangkabau disebutkan bahwa hak ulayat itu meliputi :

Sagalo nego utan tanah

Kok ngalau nan bapaunyi

Dari jirek nan sabatang

Sampai karumpuik nan sahalai

Kok capo nan sarumpun

Atau batu nan sabuah

Kok aia nan satitiak

Kok lauik nan sadidiah

Ka ateh ta ambun jantan

Ka kabawah takasik bulan (pitalo bumi)

Adolah Panghulu nan punyo ulayat.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, Pasal 1 ayat (2) menyebutkan, Pengertian tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan menurut Perda Sumatera Barat no 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, pada pasal 1 angka 7 dalam Ketentuan Umum disebutkan bahwa “ Tanah ulayat adalah bidang tanah pusaka beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dan didalamnya yang diperoleh secara turun menurun, merupakan hak masyarakat hukum adat di provinsi Sumatera Barat”.

Tanah ini adalah pusaka yang diwariskan secara turun temurun yang haknya berada ditangan perempuan namun sebagai pemegang hak atas tanah itu adalah penghulu dalam kaum itu. Walaupun pemegang hak adalah penghulu, tidak pernah disebutkan bahwa tanah itu adalah milik e.Dt.Magek Labieh (misalnya). Tetapi disebut sebagai tanah Tuo Noni atau tanah etek Ana (ibu yang ada didalam kaum itu). Hanya saja, begitu ada masalah mengenai tanah ini dengan orang lain atau kaum lain maka yang dibicarakan adalah “tanah Dt. Magek Labieh”. Artinya urusan keluar adalah urusan Penghulu kaum itu. Akan jadi masalah adalah kalau pewaris dari Ibu/Etek ini tidak mengetahui “tanah ulayat” yang menjadi milik kaumnya, apalagi kalau Penghulu yang terkait tidak mengetahui secara pasti dimana tumpak. tanah ulayat itu dan dimana batas2 tanah ulayat yang menjadi milik kaumnya ini, Pernah ada keinginan untuk mendaftarkan tanah ini ke Badan Pertanahan untuk kemudian dibuatkan Sertifikat Hak Milik, namun terbentur dengan Hukum Adat Minangkabau yang menyatakan Tanah Ulayat adalah tanah milik komunal yang tidak bisa didaftarkan atas nama satu pihak atau sekelompok orang. Disinilah diharapkan peran Yayasan Kotogadang dalam mengusahakan infenta risasi Tanah Ulayat Kaum dan Sawah Kaum yang ada di Kotogadang. Tentu saja data-data tentang kepemilikan ini harus diisikan oleh yang hari ini masih merasa memiliki tanah itu dengan persetujuan Niniak Mamak Panghulu kaum itu. Kalau masih dilalaikan, kekhawatiran kita tentang keadaan tanah ulayat di Kotogadang akan menjadi kenyataan, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Sudah saatnya Niniak Mamak Panghulu nan XXIV dan para wakil kaum untuk duduk membicarakannya.

Berkaitan dengan masalah Tanah Ulayat di Minangkabau, sudah sejak dahulu menjadi topik pembicaraan. Baik dalam suatu Seminar ataupun dalam Rapat-rapat Adat yang diadakan khusus untuk itu. Adanya investor yang akan membuat Perkebunan Besar atau Investor yang akan membangun sesuatu diatas Tanah Ulayat di Minangkabau selalu memunculkan masalah kepemilikan ini. Apabila Anda pernah mendengar tentang “SILIAH JARIAH”, maka sistem ini adalah salah satu cara untuk mengalihkan kepemilikan tanah. Namun tetap saja tidak ada pertukaran ‘pemilik’. Yang diberikan hanyalah hak pakai. Sipenerima ‘siliah jariah’ boleh meman faatkan tanah seluas yang diberikan oleh kaum yang memiliki hak pewarisan atas tanah ulayat tersebut, untuk dijadikan sawah ladang atau untuk perumahan. Apabila suatu saat nanti tanah itu diterlantarkan oleh yang menerima ‘siliah jariah’ selama waktu tertentu (biasanya 2x panen untuk sawah atau ladang) atau rumah yang dibangun diatas tanah itu tidak dimanfaatkan lagi selama 2 tahun, maka hak pakai sipenerima ‘siliah jariah’ tadi gugur. Dan tanah ulayat itu kembali ke kaum yang memberikan. Selama penerima ‘siliah jariah’ itu masih memanfaatkan tanah tersebut, maka hak pakai tanah itu masih berada ditangan yang bersangkutan. Adalah tidak pada adatnya hak pakai itu ditarik kembali oleh kaum yang memberikan hak pakai dengan ‘siliah jariah’ tadi dari tangan yang menerimanya. Pertimbangan secara matang memang diperlukan dalam mengambil keputusan untuk memberikan hak pakai melalui system ‘siliah jariah’ ini, agar tidak terjadi maslah dimasa yang akan datang.

Perkebunan yang memperoleh tanah suatu Nagari (Tanah Ulayat Kampuang/Nagari) dengan system ‘siliah jariah’ ini sering kali berujung dengan perselisihan dengan anak nagari tadi karena perusahaan tersebut hampir selalu mensertifikatkan tanah lahan perkebunan mereka. Disamping itu, masalah lain muncul karena adanya perbedaan status ekonomi antara pendatang ditanah ulayat tersebut dengan anak nagari tadi. Terakhir adalah masalah yang muncul di Kanagarian Maligi di Pasaman Barat (Sumatera Barat) dimana anak negeri menuntut janji ke pihak Perkebunan namun yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Terjadilah chaos yang melibatkan ibu-ibu dinagari tersebut. Dalam Seminar Kebudayaan Minangkabau yang berlangsung belum lama ini, sudah disepakati bahwa tanah ulayat akan dikembalikan kepada kaum/suku /nagari pemilikannya, tetapi yang peng operasiannya bisa dilanjutkan oleh perusahaan swasta ataupun negara yang sudah mengelolanya dan rakyat dalam lingkup kaum/suku/nagari itu berhak mendapatkan bagi hasil yang sepadan dengan nilai tanah itu. Semoga permasalahan seperti ini tidak terjadi di Kotogadang. Tentu saja peran Niniak Mamak Panghulu nan XXIV sangat diperlukan.

Pengertian tentang tanah ulayat ini seringkali dibicarakan oleh para ahli hukum dan ahli adat. Yang penulis ketahui beberapa ahli yang memberikan definisi tentang tanah ulayat itu adalah:

1. Hilman Hadikusuma : Tanah Adat /kerabat merupakan milik bersama (kerabat – sanak keluarga) mempunyai hak pakai dalam arti boleh memakai, boleh mengusahakan, boleh menikmati hasilnya tapi tidak boleh secara pribadi atau menjadi milik perorangan.

2. Herman Sihombing

Dalam prasarannya pada symposium Tanah Adat/Ulayat Dalam Pembangunan, tanggal 7 September 1971 di Padang menyatakan:

a) Secara teoritis. Tanah Ulayat adalah seluruh tanah yang berada dalam kekuasaan suku baik yang sedang dikerjakan, digarap atau dipakai maupun yang tidak..

b) Secara riil. Tanah ulayat adalah tanah cadangan kaum/paruik (perut) dan suku yang dikuasai oleh penghulu.

3. H. Nurullah Dt Perpatiah Nan Tuo

Tanah ulayat adalah segala sesuatu yang terdapat atau yang ada diatas termasuk ruang angkasa maupun segala hasil perut bumi diwarisi secara turun temurun dalam keadaan utuh, tidak tebagi dan tidak boleh dibagi.

Seluruh tanah di Minangkabau merupakan tanah ulayat dengan prinsip kepemilikan komunal yang pengunaan dan pendistribusiannya tunduk kepada pengaturan menurut hukum adat.

Tanah ulayat terbagi menjadi tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, dan tanah ulayat kaum.

a) Tanah ulayat nagari adalah suatu bidang tanah di mana terdapat di dalamnya hak penduduk nagari dan dikuasai penghulu nagari, dalam hal ini Kerapatan Adat Nagari (Kerapatan Niniak Mamak Panghulu nan XXIV di Kotogadang). Tanah ini ada yang berbentuk fasilitas umum, ada juga yang masih berupa rimba sebagai cadangan tanah untuk dibuka suatu saat.

b) Tanah ulayat suku adalah tanah yang dimiliki dan dikelola oleh suatu suku secara turun temurun, yang dikuasai oleh penghulu-penghulunya untuk kepentingan suku tersebut.

c) Tanah ulayat suku dalam perkembangannya dapat menjadi tanah ulayat kaum, yang penggunannya terbagi ke dalam keluarga-keluarga saparuik (= privat).

Ketiga jenis tanah tersebut disebut “tanah pusaka tinggi”. Selain itu juga dikenal “tanah pusaka rendah”, yaitu tanah-tanah yang diperoleh seseorang dari pemberian, hibah, dan karena pencarian sendiri misalnya dengan membuka hutan (taruko). Tidak dikenal adanya “pusako randah” yang diperoleh seseorang karena membeli tanah dari orang lain, karena tidak dikenal adanya proses jual beli tanah di Minangkabau ini. Begitu juga dalam hak pewarisan, tidak dikenal adanya waris kepada seseorang, yang ada adalah pewarisan didalam kaum

Bagaiman kaitan tanah ulayat dalam hukum adat dengan hukum Islam?

DR.Muchtar Naim dalam suatu makalahnya menuliskan sebagai berikut :

a. Harta Pusaka Tinggi, biasanya selalu berupa barang tidak bergerak, seperti perumahan, perkolaman, persawahan, perladangan, perkampungan, perhutanan, dsb, bersalin secara kolektif-alami turun temurun menurut garis ibu (matrilineal), menurut jalur kaum, suku ataupun nagari, dan tidak dibagi.

Fungsinya adalah sebagai harta waqaf : harta waqaf kaum, suku ataupun nagari. Jadi harta pusaka tinggi yang fungsinya sebagai harta waqaf tidak dimakan bagi. Kalau dibagi justeru salah.

b. Harta pusaka rendah, tadinya adalah harta milik pribadi, berupa barang tidak bergerak, seperti perumahan, persawahan, perladangan, dsb., yang dihibahkan untuk menjadi harta kaum, suku ataupun nagari, untuk tujuan kesejahteraan kolektif, dan tidak dibagi menurut jalur hukum faraidh.

c. Harta milik pribadi, apapun bentuknya, dan didapatkan dari hasil jerih payah pencaharian oleh seseorang, ketika meninggalnya, dibagi menurut hukum Faraidh.

Bertentangankah ketentuan adat ini dengan syariat Islam?

Jawabnya: Tidak! Sebab kalau di ubah, dimana harta pusaka tinggi dibagi secara hukum faraidh, justru itu yang salah dan bersalahan!

Yang dibagi itu adalah harta milik si mayit! (almarhum/almarhumah). Dan si almarhum/almarhumah itu, ketika hidupnya, punya tanggung jawab sosial untuk membagi-bagikan harta yang ditinggalkan nya itu untuk tujuan sosial secara faraidh.

Jadi baik harta pusaka tinggi, rendah, maupun pencaharian, semua bertujuan sosial.

Semua ini sudah ditetapkan dalam Pertemuan para Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai Minangkabau di Bukittinggi (kira2 tahun 1956), di mana juga hadir Inyiak H Agus Salim, Syekh Jamil Jambek, Syekh Sulaiman Ar Rasuli Canduang, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Buya Hamka, Dt Palimo Kayo, dsb.

Dari segi ini, sebelum ada konstitusi dan undang2 dari negara manapun di dunia ini yang mengatur tentang harta kekayaan, Islam telah lebih dahulu mengatur sistem kesejahteraan sosial, yang dimulai dari diri pribadi, keluarga, nagari dan negara, dalam bentuk hukum faraidh, di mana juga dikenal yang namanya harta hibah dan waqaf.

Tegasnya, harta pusaka tinggi adalah milik kaum, suku ataupun nagari yang dimiliki secara kolektif dan berfungsi sebagai harta wakaf. Harta wakaf secara hukum faraidh tidak boleh dibagi. Karena harta pusaka tinggi yang adalah harta bersama kaum/suku/nagari bukanlah milik dari si mayit yang baru meninggal, untuk kemudian lalu dibagi-bagi, tapi harta bersama yang berfungsi sebagai waqaf yang sifatnya sosial itu.

(Disarikan dari berbagai bahan bacaan)


1 komentar:

eva mengatakan...

Assalam'alaikum. Pak, saya ingin bertanya bagaimana jadinya kalau kita hanya tau itu pusako tinggi, tetapi mamak kita yg tertua membantah dan mengatakan itu adalah tanah Pembagian niniak mamak yg lama dan telah di jual.
Bisakah kami menang bila kami ingin mempertahankan tanah tidak di jual oleh mamak kami yg masih hidup?